Perihal Khilafiyah
Saat
sore di sebuah Warung Nasi/kopi, dekat masjid tempat kami
tinggal,duduk berbincang ustadz lingkungan dan beberapa orang sambil
menikmati penganan dan minuman..
masih disekitar warung[tidak jauh dari warung],ada beberapa anak muda
yang sedang bersitegang membahas masalah yang nampaknya cukup membuat
mereka panas otak dan hati.. sambil sesekali menyeruput teh tubruk
kegemaranku,telingapun tak bisa tidak turut menguping pembicaraan
mereka.
Setelah disimak,ternyata mereka sdg membahas hal tentang kebanyakan
orang jaman sekarang yang begitu mudah mengkafirkan orang lain karena
tidak sepaham dengannya.
Sebut saja Katro,ia begitu ambisius menyalahkan orang yang
dianggapnya sebagai pelaku bid'ah,dan dengan lantang mempertahankan
argumennya,bahwa siapa saja pelaku bid'ah,maka ia telah kafir..rupanya
dasar alasan yg ia pergunakan adalah apa yg biasa Khatib shalat jum'at
di masjid lingkungan kami,saat membuka khutbahnya selalu menyampaikan
hadits shahih, kullu bid'ah dhalalah,kullu dhalalah finnaar..'setiap
bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu tempatnya neraka. Sehingga
dalam pemahamannya,bahwa ..karena pelaku bid'ah adalah tempatnya
neraka,maka setiap pelakunya pun kafir,sebab neraka katanya disiapkan
utk orang kafir. Sedang teman bicaranya,sebut saja Ujang,pun bersikukuh
mempertahankan pendapatnya bahwa tidak semua bid'ah adalah
dhalalah,contohnya menurut dia jika semua bid'ah adalah dhalalah,maka
semua manusia adalah pelaku bid'ah,yaitu dengan kebiasaan makan hingga
kenyang kadang melebihi batas kenyang.Padahal menurutnya,makan hingga
kenyang tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat,tabi'in
,tabi'uttabi'in terlebih lagi oleh Rasulullah SAW. ia pun mensitir
sebuah hadits shahih, ”Kami adalah orang-orang yang tidak makan kecuali
setelah lapar, dan bila makan kami tidak sampai kenyang”. bahkan bukan
hanya dalil tsb saja yg dia sitir dalil lainnya pun ia sebutkan seperti
hadits riwayat Muslim,Turmudzi,Ahmad dan Ibnu Majah ,berikut ini sabda
Nabi SAW :”Seorang mukmin makan dengan satu usus, sementara orang kafir
makan dengan tujuh usus”. Suasana hening sejenak,Katro pun menimpali
pendapat Ujang...yang saya maksudkan adalah perkara2 yg berkaitan dengan
ibadah,kalau makan kan urusan dunia,bukan urusan ubudiyah mutlak,itu
kan hanya berkaitan dengan masalah nafsu makan semata.Kalau ini kan
sudah jelas dalilnya,setiap perkara baru dalam ibadah,adalah bid'ah dan
setiap bid'ah adalah sesat,begitu Katro berkilah.. Ujang,berusaha
menjelaskan dgn mensitir Ayat yg ia baca di hape BBnya,[rupanya sambil
mendengarkan katro bicara,ia mencoba browsing di google...] Sambil
berujar, Tro,coba dengerin nih saya bacain terjemah ayat disurat
al-A’raf ;31 Allah berfirman:
”Makan dan minumlah, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. Karena perintah
Allah dalam ayat tersebut,makanya Nabi SAW,tidak makan sampai
kenyang.Kalo kamu katakan makan tidak termasuk kedalam Ibadah,tidak
mungkin dalam ayat tersebut Allah perintahkan untuk Makan dan
Minum,karena ada nilai2 ibadahnya [seperti hrs baca Basmallah,setelahnya
membaca Hamdallah,malah ada tuntunan do'a sebelum dan sesudah
makan],maka dgn begitu,makan pun termasuk salah satu bentuk ibadah
disamping kebutuhan tubuh..bahkan dari makan pun bisa dibedakan antara
seorang mukmin dan seorang kafir,coba kamu dengarkan lagi "seorang
mukmin makan dengan satu usus,sementara orang kafir makan dengan tujuh
usus".Bukankah jika merujuk sama dalil2 tersebut,bahwa saya kamu juga
mayoritas ummat Islam adalah para pelaku bid'ah [dengan kebiasaan makan
sampai kenyang bahkan cenderung berlebihan],malahan bisa dikatakan
sebagai orang yg berlebih-lebihan,jelas ngga Tro...!?
Katro ;kenapa bisa disebut berlebih-lebihan..??
Ujang ; gimana tidak,sebab kita nih biasa mencampur-adukkan yg hak
dgn yg batil, coba kamu pikirkan lagi..kan kalo mau makan baca
basmallah,pas makan ngga ada beda seperti orang kafir,dengan tujuh
usus,kan begitu kata hadits...jelas ngga Tro.?
Sambil garuk2 kepala,Katro pun menganggukkan kepalanya..Jang,jadi
menurut kamu gimana mengenai hadits yg aku sebutkan,tidak
benar,begitu..??? Ah,aku kan nggak ngomong kalo hadits itu ngga
benar,aku juga tahu,kalau hadits itu hadits andalannya khatib shalat
jum'at...dan tiap jum'at juga disebutkan dalam khutbahnya,lagian juga
kan ngga pernah ada yg protes...yg aku ngga sepaham ,yaitu pandangan
kamu soal para pelaku bid'ah yg otomatis menjadi kafir karena
perbuatannya,juga banyaknya orang yg dengan mudah mengkafirkan orang
lain....bukankah,syari'at telah melarang sesama muslim saling
mengkafirkan..???
Katro ; iya juga sih ya....aku juga pernah mendengar dalam ceramah
agama larangan utk saling mengkafirkan...kalo ngga jelas dasarnya...
Ujang ;iya emang begitu...kudunya,ngga boleh asal....
Anak2 muda itupun terdiam sambil mungkin masih bingung..
Rupanya,yang tengah nguping dan menyimak bukan hanya saya dan
beberapa orang, rupanya ustadz pun ikut menyimak.. Sebut saja Ustadz Abu
Khair...melihat pembicaraan terhenti...beliau pu angkat bicara...
Begini anak muda,yang dibahas kalian sangat baik untuk dijadikan
kajian,dan mempelajari Ilmu Fiqh,akan sangat berguna bagi wawasan
pemahaman tatacara beribadah bagi kita sekalian. Ada yang menarik
menurut saya[maksudnya ustadz],artinya,bukan membahas bab bid'ah tidak
menarik atau tidak penting.. Ada yang lebih penting kita bahas sedikit
disini,yaitu tentang kalimat saling mengkafirkan orang lain....betul
sekali ,bahwa syari'at melarang kita saling
mengkafirkan,karena...menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang,tidak
boleh sembarangan...memang diakui dan kita ketahui bahwa di kalangan
kaum muslimin masih terdapat sebagian orang yang terlalu mudah
melontarkan tuduhan kafir, musyrik, fasik dan sebagainya terhadap orang
muslim lain hanya karena berbeda perndapat mengenai masalah-masalah
tertentu. Sikap demikian disebabkan oleh kurangnya pengertian tentang
hukum Syariat Islam. Atau mungkin orang yang dituduh itu dianggap tidak
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dituntut oleh
agama. Atau bisa juga tuduhan itu muncul dari sikap fanatic akibat
taqlid buta dalam menghayati agama.
Jika sikap gegabah itu disebabkan karena kurangnya pengertian tentang
hukum syari’at islam, cara mengatasinya tidak begitu sulit, yaitu
dengan cara memberikan pengertian mengenai prinsip-prinsip ajaran agama
islam dan hukum-hukum syari’at islam. Kalau disebabkan perasaan tidak
puas melihat orang lain tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
motivasi ini baik, tetapi tidak diarahkan menurut jalur yang semestinya.
Ia lupa bahwa untuk mendorong orang lain melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar diperlukan cara-cara bijaksana dan tidak jemu-jemu memberikan
peringatan dengan cara yang sebaik-baiknya. Jika ia merasa perlu
berdiskusi maka diskusipun dengan cara yang baik. Sebagaimana tuntunan
Allah :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah** dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.(QS An Nahl : 125)
**Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Cara yang ditunjukkan oleh Al Qur’an itu lebih mudah dan lebih
menjamin tercapainya kebijakan yang kita inginkan. Menempuh cara yang
sebaliknya merupakan kekeliruan besar dan akan mendatangkan akibat
fatal. Lain hal-nya kalau tuduhan kafir dilontarkan atas dasar fikiran
ekstrim dan fanatisme taqlid buta. Persoalan tidak hanya sulit diatasi,
bahkan amat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Lagi pula
tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan teladan Rasul-Nya. Hal ini
memerlukan pembahasan khusus, rumit dan mungkin berliku-liku, karena
berkenaan dengan masalah kejiwaan, cara berfikir dan lain-lain.
Seorang yang menunaikan sholat dan kuajiban-kuajiban lainnya akan
berusaha mengajak orang lain kejalan hidup lurus dan melakukan kegiatan
lain yang tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Orang yang demikian, tidak boleh diragukan keislamannya. Kalau dalam hal
tertentu ia berbeda pandangan dengan kita karena tidak semadzhab dan
kemudian kita tuduh kafir, sesungguhnya kita telah melakukan kesalahan
besar, karena kita telah melakukan sesuatu yang dilarang Allah.
Semua imam madzhab dan semua ulama diseluruh dunia islam telah
bersepakat untuk melarang mengkafirkan kecuali jika ia mengingkari Allah
atau jelas-jelas mensekutukan-Nya dengan sesembahan lain atau
mengingkari kenabian serta kerasulan Muhammad SAW, atau dengan sadar
mengingkari sesuatu yang telah diwajibkan oleh agama Allah atau
mengingkari kitabullah Al Qur’an dan sunnah Rasulullah yang diriwayatkan
oleh hadits-hadits shahih yang kebenarannya telah diterima bulat oleh
semua ulama islam.
Mengenai soal-soal yang diwajibkan oleh agama islam sebagai aqidah
telah sama-sama diketahui. Yang terpokok adalah meyakini keesaan
(Wahdaniyah) Allah SWT, meyakini kenabian para rasul sebelum kedatangan
Nabi Muhammad SAW, meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup dan
terakhir, meyakini kepastian datangnya hari kiamat saat seluruh manusia
dibangkitkan kembali, meyakini adanya hisap, meyakini adanya surga dan
neraka. Mengingkari soal-soal pokok tersebut baru bisa diartikan kufur.
Alasan apapun tidak bisa diterima dari seorang muslim untuk mengatakan
“saya tidak tahu” untuk masalah pokok tersebut, kecuali baru saja masuk
islam. Akan tapi setelah diberitahu, diberi pengertian, tidak ada alasan
lagi baginya untuk menolak keyakinan tentang masalah tersebut.
Menetapkan “kekufuran” seseorang berdasarkan alasan-alasan selain
alasan tersebut diatas adalah tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya.
Dalam sebuah hadits berasal dari Abu Hurairah ra. dan diriwayatkan oleh
Al Bukhari,Rasulullah SAW bersabda (artinya), jika ada orang yang
berkata kepada saudaranya; “hai kafir!” maka salah satu diantara dua
orang itu adalah kafir.”
Yang dimaksud hadits tersebut adalah orang yang disebut kafir itu
memang benar-benar kafir, atau jika yang disebut kafir itu orang muslim
maka yang menyebut itu sendirilah yang telah berbuat kufur.
Menilai kekufuran seseorang tidak boleh dilakukan oleh siapapun
kecuali atas dasar dalil-dalil hukum syara’ yang sah. Menetapkan
kekufuran seseorang berdasarkan dugaan yang tidak terbukti kebenarannya
menurut syara’, atau hanya berdasarkan dugaan, sangkaan atau perkiraan
belaka, sama sekali tidak dibenarkan oleh agama. Mengobral tuduhan
semacam itu pasti akan mengacaukan keadaan dan merusak persatuan umat
islam, bahkan orang lain enggan mendekati kebenaran Islam.
Seorang muslim yang berbuat maksiatpun tidak boleh dituduh sebagai
kafir selagi ia masih tetap beriman dan mengikrarkan dua kalimah
syahadat. Sebuah hadits dari Anas bin Malik ra. Rasulullah SAW bersabda
(artinya) “Tiga perkara termasuk pokok keimanan; 1. Tidak memusuhi orang
yang telah mengucapkan “Tiada Tuhan selain Allah” (La ilaaha illallah)
dan tidak mengkafirkannya karena berbuat dosa dan tidak mengeluarkannya
dari Islam karena suatu perbuatan. 2. Perjuangan berlaku terus sejak
Allah mengutusku hingga saat umatku yang terakhir memerangi dajjal.
Perjuangan itu tidak boleh ditiadakan oleh orang yang dzolim ataupun
oleh orang adil. 3. Meyakini takdir Ilahi (HR Abu Dawud).
Imam Al Haramain (Abdul Ma’ali Al-Juwaini) mengatakan; Seandainya ada
yang minta kepada saya supaya merumuskan hukum syara’ yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan kekufuran seseorang, pasti saya jawab;
Itu merupakan fikiran yang tidak pada tempatnya. Sebab persoalan itu
terlalu jauh jangkauannya, persoalan gawat yang pemecahannya harus
bersumber pada prinsip tauhid dan orang yang ilmunya tidak mencapai
puncak hakekat kebenaran, ia tidak akan memperoleh dalil-dalil pemikiran
yang kokoh.
Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra. ketika ditanya sahabatnya tentang
kedudukan kaum khawarij; Apakah mereka itu orang-orang kafir?, beliau
menjawab; Bukan, mereka justru orang-orang yang menjauhkan diri dari
kekufuran. Apakah mereka itu orang munafik? Beliau menjawab; Bukan,
orang-orang munafik hanya sedikit berdzikir (menyebut nama Alloh),
mereka justru orang-orang yang banyak berdzikir. Lantas apa mereka itu?
Beliau menjawab; Mereka adalah orang yang dilanda fitnah sehingga
menjadi buta dan tuli.
Al Buhkari mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh oleh
Abu Dzibyan, bahwa Usamah bin Zaid berkata (artinya) “Pada suatu
peperangan, Rasulullah SAW memerintahkan kami menyergap tempat
persembunyian musuh. Setelah mereka kalahkan, ada satu orang yang coba
melarikan diri. Aku bersama seorang Anshor mengejarnya, tetapi setelah
kami tangkap, ia mengucapkan La ilaaha illallah. Karena temanku tidak
mau membunuhnya, kuhujamkan tombakku kepada orang dari pasukan musuh itu
hingga mati. Ketika aku menghadap Rasulullah SAW, ternyata beliau telah
mendengar berita kejadian itu. Beliau bertanya; “Hai Usamah, benarkah
engkau telah membunuhnya setelah dia mengucapkan La ilaha illalloh? Aku
menjawab; iya, Ya Rasulullah, ia hanya bermaksud menyelamatkan diri.
Rasulullah bertanya lagi; Apakah engkau membelah hatinya, hingga engkau
tau dia itu benar atau bohong? Selanjutnya Usamah berkata, sejak saat
itu aku tidak membunuh lagi orang yang telah mengucapkan La ilaha
illallah.”
Jelas Sekali kan anak muda,Menilai kekufuran seseorang tidak boleh
dilakukan oleh siapapun kecuali atas dasar dalil-dalil hukum syara’ yang
sah. Menetapkan kekufuran seseorang berdasarkan dugaan yang tidak
terbukti kebenarannya menurut syara’, atau hanya berdasarkan dugaan,
sangkaan atau perkiraan belaka, sama sekali tidak dibenarkan oleh agama.
Tidak lama setelah itu Adzan Maghrib pun berkumandang,dan kami pun
bersama-sama menuju masjid guna melaksanakan shalat maghrib
berjama'ah,tentunya dengan perasaan lega,karena secara tidak langsung
telah bertambah lagi pemahaman dan wawasan kami..Alhamdulillah,kami
bersyukur Ya Allah,atas setiap pertolongan dan kemurahan-Mu...
